BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berdasarkan
aspek geografis, masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir. Masyarakat ini bergantung hidup dengan megelola
sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya yaitu kawasan perairan dan
pulau-pulau kecil. Secara umum sumber ekonomi mereka ialah sumber daya
perikanan (tangkap dan budidaya) menjadi sumber daya yang sangat penting dan
sumber daya ini menjadi penggerak dinamika ekonomi lokal di desa-desa
pesisiran.
Dalam konteks ini, masyarakat nelayan merupakan pelaku utama yang
ikut serta menentukan dinamika ekonomi lokal. Kondisi masyarakat nelayan kini,
merupakan hasil dari kebijakan pembangunan di sektor perikanan yang di sebut “modernisasi
perikanan” sejak awal 1970-an.
Kebijakan yang bertumpu pada orientasi produktivitas ini telah
melahirkan berbagai perubahan yang sangat penting di bidang sosial, ekonomi dan
ekologi di masyarakat di pesisir. Seiring dengan pertumbuhan produktivitas
tangkapan dan budi daya perairan, masalah-masalah sosial dan lingkungan pun
bermunculan dan belum bisa terselesaikan secara tuntas hingga kini.
Persoalan pembangunan masyarakat persisir dapat dikatogerikan
menjadi tiga, iaitu:
o
Masalah sosial yang mencakupi isu kemiskinan, kesenjangan sosial
dan konflik sosial nelayan.
o
Masalah lingkungan yang mencakupi isu kerosakan ekosistem pesisir,
pulau-pulau kecil dan kelangkaan sumber daya perikanan.
o
Masalah modal pembangunan yang mencakupi isu pengelolaan potensi
sumber daya yang belum optimal dan masalah kepunahan desa nelayan atau surutnya
peranan ekonomi desa nelayan beserta tradisi maritimnya.
Salah satu masalah yang paling krusial adalah kemiskinan.
Sebagaimana yang banyak diungkapkan melalui pelbagai studi dan penelitian.
Dengan memperhatikan masalah-masalah sosial yang secara langsung
sering dihadapi oleh masyarakat pesisir, khususnya masalah kemiskinan dan kerosakan
lingkungan, merupakan alasan atau latar belakang yang perlu dipertimbangkan
secara saksama tentang masalah perlukan program pemberdayaan masyarakat
pesisir.[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Masyarakat
Menurut Paul B. Horton[2],
masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif mandiri, yang hidup
bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki
kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu.
Pada bagian lain, Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi
manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Menurut Para
Ahli
1. Peter L. Berger
Definisi masyarakat adalah suatu keseluruhan
kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri
berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu
kesatuan.
2. Mansur Fakih
Masyarakat adalah sesuah sistem yang terdiri
atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus
menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni.
3. Marx
Masyarakat ialah keseluruhan hubungan -
hubungan ekonomis, baik produksi maupun konsumsi, yang berasal dari
kekuatan-kekuatan produksi ekonomis, yakni teknik dan karya.
4. Gillin & Gillin
Masyarakat adalah kelompok manusia yang
mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh
kesamaan.
5. Harold J. Laski
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang
hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka
bersama.
6. Robert Maciver
Masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan
yang ditertibkan (society means a system of ordered relations)
7. Selo Soemardjan
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama dan menghasilkan kebudayaan.
8. Horton & Hunt
Masyarakat adalah suatu organisasi manusai yang
saling berhubungan.
Dari kesemua definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa Masyarakat adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi dan
berhubungan serta memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang kuat untuk mencapai
tujuan dalam hidupnya.
B.
Pengertian
Pesisir
Menurut Para
Ahli
1.
Menurut
(Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Pesisir merupakan daerah pertemuan antara
darat dan laut. ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut,
angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut meliputi bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran
2.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman
Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu,
Wilayah Pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk
propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.
C.
Kehidupan Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di
wilayah pesisiran. Wilayah ini adalah wilayah transisi yang menandai tempat
perpindahan antara wilayah daratan dan laut atau sebaliknya (Dahuri dkk. 2001:
5). Di wilayah ini, sebahagian besar masyarakatnya hidup dari mengelola sumber
daya pesisir dan laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
itu, dari perspektif matapencariannya, masyarakat pesisir tersusun dari
kelompok-kelompok masyarakat yang beragam seperti nelayan, petambak, pedagang
ikan, pemilik toko, serta pelaku industri kecil dan menengah pengolahan hasil
tangkap.
Di kawasan pesisiran yang sebahagian besar penduduknya bekerja menangkap
ikan, sekelompok masyarakat nelayan merupakan unsur terpenting bagi eksistensi
masyarakat pesisir. Mereka mempunyi peran yang besar dalam mendorong kegiatan
ekonomi wilayah dan pembentukan struktur sosial budaya masyarakat pesisir.
Sekalipun masyarakat nelayan memiliki peran sosial yang penting, kelompok
masyarakat yang lain juga mendukung aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya
adalah menangkap ikan. Sebahagian hasil tangkapan tersebut dikonsumsi untuk
keperluan rumah atau dijual seluruhnya. Biasanya isteri nelayan akan mengambil
peran dalam urusan jual beli ikan dan yang bertanggung jawab mengurus domestic rumahtangga.
Kegiatan melaut dilakukan setiap hari, kecuali pada musim barat, masa
terang bulan, atau malam jumat (libur kerja). Kapan waktu keberangkatan dan
kepulangan melaut umumnya ditentukan oleh jenis dan kualitas alat tangkap.
Biasanya nelayan akan berangkat kelaut pada sore hari setelah Ashar dan kembali
mendarat pada pagi hari.
Tingkat produktivitas perikanan tidak hanya menentukan fluktuasi
kegiatan ekonomi perdagangan desa-desa pesisir, tetap juga mempengaruhi
pola-pola konsumsi penduduknya. Pada saat tingkat penghasilan besar, gaya hidup
nelayan cenderung boros dan sebaliknya ketika musim paceklik tiba mereka akan
mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak jarang barang-barang yang dimilikinya
akan dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat nelayan, struktur yang terkonstruksi merupakan
aktualisasi dari organisasi kehidupan perahu. Sistem organisasi nelayan memberi
ruang yang luas bagi tumbuhnya penghargaan terhadap nilai-nilai prestatif,
kompetitif, beorentasi keahlian, tingkatan solidaritas sosial kerana faktor
nasib dan tantangan alam, serta loyalitas terhadap pemimpin yang cerdas. Karena
itu, posissi sosial seorang nelayan atau pedagang ikan yang sukses secara
ekonomis dan memiliki modal kultural, seperti suka menderma dan sudah berhaji,
sangat dihormati oleh masyarakat di lingkungannya dan diikuti pendapatnya.
Mereka ini merupakan modal sosial berharga yang bisa didayagunakan untuk
mencapai keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pesisir.[5]
D.
Pola Pemukiman
dan Kehidupan Sehari-hari
Kampung-kampung
nelayan yang padat, tidak hanya membatasi keleluasaan gerak penduduknya, tetapi
juga menyumbang terhadap pemeliharaan keamanan kampung dari gangguan pencuri.
Di Pesisir, tindak kriminal pencurian atau penjarahan harta benda penduduk
hampir tidak pernah terjadi. Siapapun orang luar yang masuk ke kampung-kampung
nelayan, baik siang hari ataupun malam hari akan mudah dikenali, dan jika
gerak-geriknya mencurigakan akan mudah diawasi. Kondisi demikian ditunjang oleh
hubungan kekerabatan antara penduduk kampung yang sangat kental.[6]
Di samping itu,
kepadatan kampung memudahkan penyebaran informasi apapun di kalangan penduduk
pesisir. Pertengkaran pada sebuah keluarga (antara suami dan istri) akan mudah
diketahui oleh orang lain. Di pesisir sangat sulit menyimpan rahasia pribadi
atau rumah tangga karena yang ada hanyalah rahasia umum, begitu pun halnya
dengan gossip.[7]
Rumah-rumah
penduduk bersifat multifungsi, artinya tidak hanya sebagai tempat hunian dan
sosialisasi, tetapi juga difungsikan untuk mengeringkan ikan dan krupuk (yakni
bagian atap rumah). Ikan kering (ikan asin) ada yang dijual ke pasar atau
dikonsumsi sendiri. Bahan baku ikan kering diperoleh dari hasil tangkapan suami
atau dibeli dari nelayan lain. Ikan kering yang dikonsumsi sendiri biasanya
dimanfaatkan ketika masa laep atau tidak ada hasil tangkapan dalam waktu
yang relative lama. Ikan dikeringkan agar kondisinya bertahan lama sehingga
dapat dimanfaatkan setiap saat.[8]
E.
Masyarakat dan
Kebudayaan
Masyarakat
pesisir mengenal istilah taretan sema' (saudara dekat) dan taretan
jauh (saudara jauh). Batas untuk saudara dekat adalah tiga pupu, dan batas
untuk saudara jauh adalah empat pupu ke atas (bandingkan Sidiq, 1992:27).
Saudara dekat sering dianggap sebagai oreng dhalem (orang dalam),
sedangkan saudara jauh dianggap sebagai oreng lowar (orang luar).
Hubungan-hubungan sosial antarkerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup
kuat. Perbedaan status sosial-ekonomi yang mencolok antarkerabat dapat menjadi
penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka. Banyak dari
keluarga kurang mampu yang merasa malu mengakui salah seorang kerabatnya yang dipandang
kaya di pesisir. Hubungan sosial tersebut biasanya akan tercipta dengan baik
jika masing-masing kerabat memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sepadan.[9]
Hasil
Penelitian dan Pembahasan[10]
A.
Letak Geografis
Terbentuknya Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ditetapkan
oleh Undang-Undang No.34 tahun 1999. Dimana dalam undang-undang tersebut
Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya dari sebuah kecamatan menjadi Kabupaten
Administrasi, wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Pulau Untung Jawa dengan luas pulaunya 40,10 Ha yang pada saat ini
didiami oleh penduduknya berjumlah 1.477 jiwa dengan 238 Kepala keluarga, yang
sebagian besar bermata pencaharian nelayan tradisional, sedangkan mengenai
batas wilayah Kelurahan Pulau Untung Jawa menurut data di Kelurahan adalah
sebelah utara perbatasan dengan Kelurahan Pulau Panggang, sebelah selatan
berbatasan dengan Tanjung Pasir Provinsi Banten, sebelah barat berbatasan
dengan Kelurahan Pulau Pari dan sebelah timur berbatasan dengan Jakarta Utara.
Mengenai tinggi Pulau Untung Jawa dari permukaan air laut hanya dua
meter dengan keadaan suhu berkisar antara 24 derajat celcius sampai dengan 33
derajat celcius, sedangkan jarak dari Pulau Jawa yang menghubungkan antara
Tanjung Pasir Tanggerang Propinsi Banten hanya 3,5 mil sehingga sangat mudah
jarak tempuhnya.
B.
Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kelurahan Pulau Untung Jawa seluruhnya berjumlah
1.577 jiwa dengan 238 Kepala Keluarga.
C.
Keagamaan
Dilihat dari kondisi masyarakat Kelurahan Pulau Untung Jawa dalam
hal keyakinan keagamaan berdasarkan sensus serta observasi, hasil wawancara
dengan H. Fathurahman tokoh ulama masyarakat dengan aparat kelurahan menyatakan
bahwa di Kelurahan Pulau Untung Jawa penduduknya 100% beragama Islam.
Berdasarkan hasil observasi peneliti, ketaatan masyarakat Keselurahan
Pulau Untung Jawa dalam melaksanakan ibadah cukup baik. Hal tersebut dapat
dilihat dari pelaksanaan ibadah misalnya, dapat dibuktikan ketika bulan suci
ramadhan semarak dengan kegiatan keagamaan masyarakat Kelurahan Pulau Untung
Jawa sangat meningkat, baik dalam bidang shalat tarawih, puasa, zakat,
pendidikan pesantren kilat, dan sebagainya.
D.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan rata-rata penduduk Pulau Untung Jawa hanya mencapai
tamatan SLTA, meskipun ada juga yang sampai tamat pendidikan diploma dan
perguruan tinggi. Setelah dilakukan penelitian, ternyata dapat diketahui masih
sangat minimnya tingkat pendidikan di kalangan masyarakat Pulau Untung Jawa,
Kepulauan Seribu Jakarta. Maka jika dikerucutkan seperti piramida yaitu semakin
tinggi puncak permukaan maka semakin sedikit jumlah kaum yang terpelajarnya,
begitu pula sebaliknya semakin rendah permukaannya semakin banyak kalangan
masyarakat yang belum menikmati tingkat atas. Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa penduduk Pulau Untung Jawa mempunyai latar belakang pendidikan kurang
baik hanya sebagian kecil saja yang tidak sampai menikmati pendidikan.
E.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Kepulauan Seribu pada umumnya mayoritas
rata-rata nelayan tradisional, yaitu mereka menangkap ikan dengan peralatan
yang tergolong masih sangat sederhana misalnya seperti pancing, jala, atau jaring
dan bubu. Begitu pula halnya dengan masyarakat Pulau Untung jawa, akan tetapi
masyarakat Pulau Untung Jawa memiliki penghasilan tambahan dengan adanya objek
wisata di Pulau Untung Jawa, banyak dari penduduk Pulau Untung Jawa yang
memanfaatkan obyek wisata yang ada di daerah Pulau Untung Jawa tersebut.
F.
Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Kehidupan sosial kemasyarakatan di Pulau Untung Jawa Kepulauan
Seribu Jakarta, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan sejumlah warga
masyarakat setempat diperoleh keterangan bahwa masyarakat Pulau Untung Jawa
dalam menghadapi kehidupan selalu bersifat optimis, terbukti dengan usaha
mereka bekerja keras dengan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
tidak ada masyarakat yang secara total menganggur.
Selain itu, masyarakat Pulau Untung Jawa sebagai masyarakat
pinggiran yang masih diliputi oleh rasa kekeluargaan yang cukup tinggi,
terbukti dengan gotong- royong dan kebersamaan mereka dalam berbagai kegiatan
sosial dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial dan bekerja sama dalam
hal pencarian nafkah dalam bidang pelayanan penangkapan ikan, rumput laut, dan
perdagangan.
Selain itu pula sebagai masyarakat yang baik dalam menghadapi
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta sistem komunikasi yang begitu
cepat dengan dicampuri oleh budaya luar yang mungkin tidak bisa dicegah masuk.
Sebagai contoh, perkembangan dunia pertelevisian yang selalu menyuguhkan
acara-acara yang sedikit banyak mempengaruhi budaya setempat, baik dalam
berpakaian maupun dalam pergaulan. Namun demikian, masyarakat Pulau Untung Jawa
dapat memilih dan memfilter budaya tersebut sesuai dengan kepribadian dan
pandangan hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi.
Nelayan:Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. 2000. Bandung: Humaniora
Utama Press.
______.
Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. 2006. Bandung: Humaniora
Syahrizal.
Dalam Skripsi Peranan Pariwisata dalam Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat. 2002. UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Waluya,
Bagja, Sosiologi: Menyelami Sosial di Masyarakat. 2009. PT. Pribumi
Mekar.
[1]
Drs. H. Kusnadi,M.A., Filosofi Pemberdayaan Masyarakat
Persisir, hal. 30
[2]
Bagja Waluya, Sosiologi: Menyelami Sosial
di Masyarakat, PT. Pribumi Mekar, 2009. Hal 10
[3]
Dalam tulisannya tentang "Desa Pantai
Sulawesi Selatan dan Strategi Pengembangannya", Sallatang (1977:65)
menemukan adanya empat tipe desa pantai dilihat dari mata pencaharian sebagian
besar penduduknya, yakni desa pantai (1) tanaman bahan makanan, khususnya padi
sawah; (2) tanaman industry, khususnya kelapa; (3) penangkapan ikan di laut dan
pemeliharaan ikan di empang atau nelayan dan empang : dan (4) perdagangan atau
perniagaan dan usaha pengangkutan atau niaga dan transportasi. Desa Pesisir
termasuk desa pantai kategori ketiga.
[4]
Drs. Kusnadi. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan
Sosial. Hal. 32
[5]
Ibid
[6]
Ibid.
hal. 42-43
[7]
Ibid.
hal. 43
[8]
Ibid.
hal. 43
[9]
Ibid.
hal.56
[10]
Syahrizal. Dalam skripsi "Peranan
Pariwisata dalam Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat". Hal
60-80